Derita Palestina, Derita Kita, Derita Kemanusiaan

Willi Ashadi
Dosen Prodi Hubungan Internasional UII, Yogyakarta

Sejak Oktober 2023 hingga 10 Juli 2025, dunia menyaksikan salah satu tragedi kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern dimana genosida yang dilakukan rezim Zionis Israel terhadap rakyat Palestina. Jumlah korban tewas yang mendekati 57.800 jiwa dan lebih dari 137.600 luka-luka bukanlah sekadar angka. Di balik statistik itu ada bayi yang meregang nyawa, ibu yang kehilangan anak-anaknya, dan keluarga yang hancur berantakan. Namun lebih menyayat hati lagi adalah kenyataan bahwa hingga kini, tidak ada tanda-tanda Zionis Israel akan menghentikan kebiadaban mereka. Sementara dunia menyuarakan keprihatinan, bom masih dijatuhkan, dan nyawa-nyawa terus melayang.

Menguji Nurani Kemanusiaan

Apa yang terjadi di Palestina bukan hanya konflik wilayah. Ini adalah krisis kemanusiaan, sebuah bentuk kejahatan perang yang nyata dan terbuka. Zionis Israel tidak hanya membunuh warga sipil secara brutal, tapi juga menghancurkan kehidupan mereka secara sistematis. Rumah-rumah penduduk, infrastruktur, sekolah, universitas, rumah sakit, dan jalan-jalan raya menjadi sasaran rudal dan artileri. Setiap sudut Gaza dan Tepi Barat menjadi saksi bisu kebengisan dan kebiadaban rezim zionis Israel tersebut.

Lebih menyedihkan lagi, penderitaan rakyat Palestina diperparah oleh blokade total yang diberlakukan terhadap jalur masuk bantuan kemanusiaan. Semua perbatasan ditutup. Bantuan makanan, obat-obatan, air bersih, dan perlengkapan medis tidak diizinkan masuk. Warga yang selamat dari serangan harus menghadapi kelaparan, penyakit, dan krisis kesehatan yang tak terbayangkan. Anak-anak tumbuh dalam ketakutan, tanpa pendidikan, tanpa rumah, dan tanpa masa depan yang jelas.

Namun, di tengah penderitaan ini, muncul pula kilatan harapan dan solidaritas dari berbagai penjuru dunia. Warga Mesir, misalnya, melarung botol-botol berisi beras ke laut dengan harapan sampai ke Gaza. Di berbagai negara, gelombang donasi, aksi damai, dan doa mengalir untuk rakyat Palestina. Gerakan kemanusiaan tumbuh dari akar rumput, dari rakyat biasa yang tidak tahan lagi melihat kekejaman yang terjadi di depan mata mereka. Mereka yang tidak memiliki senjata, memilih menggunakan kepedulian sebagai bentuk perjuangan.

Menanti kebijaksanaan Pemimpin Dunia

Sayangnya, gelombang solidaritas itu tidak ditanggapi serius oleh para pemimpin dunia. Kutukan-kutukan dari para kepala negara terdengar hambar tanpa aksi konkret. Dunia internasional, terutama negara-negara besar yang memiliki pengaruh diplomatik, seolah kehilangan keberanian untuk menindak rezim Zionis. Retorika kecaman seakan menjadi pemanis bibir tanpa keberanian untuk memberlakukan sanksi internasional, embargo senjata, atau membawa para pelaku kejahatan perang seperti Benjamin Netanyahu ke Mahkamah Pidana Internasional.

Yang lebih memilukan adalah diamnya dunia Islam. Negara-negara dengan mayoritas umat Islam, termasuk para pemimpin politik dan tokoh agama, lebih banyak membisu daripada bertindak. Mereka yang semestinya menjadi garda terdepan dalam membela Palestina justru terjebak dalam kepentingan politik dan ekonomi masing-masing. Ada yang khawatir kehilangan mitra dagang, ada pula yang takut kehilangan dukungan negara adidaya. Sebagian besar hanya menyuarakan doa dan kutukan, tanpa menyertakan aksi nyata di belakangnya. Umat Islam di seluruh dunia bertanya-tanya: Di manakah suara keadilan dari para pemimpin mereka?

Padahal, derita Palestina bukan hanya derita umat Islam. Ini adalah derita kemanusiaan. Ketika rumah sakit diserang, ketika anak-anak dibunuh di sekolah, ketika ambulans dibombardir, dan ketika orang tua meninggal karena tak ada air bersih, itu adalah penderitaan yang seharusnya menggugah hati siapa pun yang masih memiliki nurani—tak peduli agamanya, bangsanya, atau latar belakang politiknya.

Refleksi bagi Warga Global

Krisis di Palestina adalah pengingat bahwa dunia ini sedang kehilangan arah kemanusiaan. Di saat rakyat kecil bersatu untuk membantu, para pemimpin dunia gagal menunjukkan ketegasan dan empati. Sementara rakyat menangis, mereka sibuk bernegosiasi di meja diplomasi tanpa solusi yang nyata. Hal ini menunjukkan ketimpangan besar antara kekuatan politik dan nilai-nilai kemanusiaan. Dunia seakan hanya bergerak jika yang menderita adalah negara kaya, atau jika kepentingan ekonomi global terganggu.

Sudah saatnya dunia internasional, khususnya lembaga-lembaga besar seperti PBB, berdiri tegak atas nama keadilan. PBB tidak boleh lagi menjadi sekadar institusi yang mengeluarkan resolusi tanpa kekuatan eksekusi. Organisasi ini harus bersikap tegas terhadap Israel dan menghentikan agresi yang telah mencederai martabat kemanusiaan. Israel harus diberi sanksi, para pemimpinnya yang terlibat dalam genosida harus diadili, dan rakyat Palestina harus diberikan hak-hak dasarnya sebagai manusia: hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penindasan, dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

Palestina tidak menginginkan perang. Mereka hanya ingin hidup damai. Mereka ingin anak-anak mereka bisa bersekolah, ingin bekerja dan meraih kesejahteraan, ingin membangun rumah tanpa takut dihancurkan. Mereka ingin tersenyum, seperti anak-anak di belahan dunia lain. Mereka ingin memiliki masa depan yang layak, tanpa dikejar-kejar drone atau dibayangi pesawat tempur. Jika negara-negara lain bisa hidup damai, mengapa Palestina tidak?

Dalam kondisi seperti ini, kita semua dipanggil untuk mengambil sikap. Tidak cukup hanya mendoakan. Tidak cukup hanya mengutuk. Kita harus bersatu dalam aksi nyata. Apakah itu dalam bentuk donasi, advokasi, edukasi, atau tekanan politik kepada pemerintah masing-masing agar bersikap tegas terhadap Israel. Suara rakyat dunia harus lebih nyaring dari suara pemimpin yang bungkam.

Harapan Untuk-mu  Palestina

Derita Palestina adalah cermin nurani dunia. Jika dunia membiarkan kekejaman ini terus berlangsung, maka kemanusiaan kita sedang sekarat. Dan jika kita hanya diam, maka kita adalah bagian dari kejahatan itu sendiri. Kita tidak bisa memilih netral dalam situasi di mana anak-anak dibunuh dan rumah sakit dihancurkan. Netralitas di tengah kezaliman adalah keberpihakan terhadap penindas.

Mari kita berjuang bersama, sekecil apa pun itu. Karena ketika kita berdiri untuk Palestina, kita sebenarnya sedang berdiri untuk masa depan kemanusiaan kita sendiri. Kita sedang menjaga harapan bahwa dunia ini masih memiliki hati.

Palestina merindukan perdamaian, merindukan kehidupan yang layak seperti halnya layaknya manusia lainnya. Palestina merindukan hari di mana bom tidak lagi berbicara lebih keras dari doa. Kita semua bisa menjadi bagian dari harapan itu. Jika tidak ada lagi cara untuk mengintervensi, maka kita menanti intervensi dari sang Maha Kuasa. Semoga.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top